Kamis, 09 Februari 2012

0 PENGARUH UJIAN SEKOLAH TERHADAP KELULUSAN SISWA


Jangan Lupa Tinggalkan Komentar Kalian Ya...!!!

Praktik tak jujur yang dilakukan 16 guru SMA Negeri Lubuk Pakam 2 di hari kedua Ujian Nasional 2008 yang lalu merupakan satu dari sekian dampak buruk penerapan ujian yang distandardkan dan tersentralisasi secara nasional. Keenam belas guru tersebut tertangkap basah sedang membetulkan jawaban siswa untuk bidang studi bahasa Inggris yang hari itu diujikan (Kompas, 24 April 2008).Kecurangan yang terjadi di kabupaten Deli Serdang itu bukan satu-satunya yang terjadi semenjak ujian nasional diberlakukan di Indonesia sebagai penentu kelulusan. Tahun 2007 lalu kecurangan serupa terjadi di Medan Sumatera Utara, yang kemudian mendorong lahirnya kelompok “Air mata guru.” Demikian juga dengan apa yang terjadi di Garut Jawa Barat di tahun yang sama. Isu-isu kebocoran soal di beberapa daerah pun santer diberitakan di media masa.Pertanyaannya, mengapa kecurangan terus terjadi? Setidaknya, ada dua alasan mendasar yang bisa menjelaskan. Pertama, penekanan yang berlebihan pada hasil, dan bukan pada proses belajar. Akibatnya, hasil menjadi tujuan utama. Ketika hasil dianggap lebih penting daripada proses, segala cara pun dihalalkan demi memperoleh nilai tinggi. Pemerintah sendirilah sebenarnya yang mengajarkan cara pandang seperti itu melalui ujian nasional. Di satu sisi, ujian nasional seakan-akan menjadi hakim penentu masa depan siswa tanpa mempertimbangkan riwayat belajar mereka. Di sisi lain, ujian nasional berisi soal-soal pilihan ganda yang bersifat sangat otoriter, seolah-olah hanya ada satu jawaban benar. Siswa tidak pernah bisa mengajukan argumentasinya mengapa mereka bisa sampai pada pilihan jawaban tertentu. Pembuat soal juga tidak pernah bisa mempertanggungjawabkan mengapa pilihan A, B, C, D, atau E menjadi jawaban benar untuk sebuah soal tertentu. Di sinilah letak persoalannya: bagaimana jika jawaban untuk sebuah soal masih bisa diperdebatkan? Kepada siapa siswa harus mengajukan argumentasi seandainya terdapat soal yang menurut mereka memiliki lebih dari satu jawaban benar? Pembelajaran seharusnya ditempuh melalui proses pengajaran yang benar, melalui tanya-jawab dan diskusi yang mendalam, serta kegiatan yang merangsang siswa untuk berpkir pada level yang tinggi, dan bukan sekadar memilih-milih alternatif-alternatif jawaban.Kedua, hasil ujian sekolah berdampak pada reputasi dan nama baik sekolah, termasuk di dalamnya kepala sekolah dan para guru, di mata masyarakat umum. Ketika reputasi dan nama baik menjadi taruhan, segala cara untuk mempertahankannya seolah-olah sah untuk dilakukan. Lebih-lebih jika yang dipertaruhkan adalah reputasi kepala sekolah yang terancam dimutasi Kepala Dinas Pendidikan. Di Kalimantan Timur, misalnya, Kepala Dinas Pendidikan Samarinda mengancam memutasi kepala sekolah SMA/SMK yang tak berhasil melebihi target kelulusan siswa 75 persen (Kompas, 23 April 2008).
Masyarakat terlanjur beranggapan bahwa semakin tinggi tingkat kelulusan siswa di sebuah sekolah semakin baik sekolah tersebut. Jika tingkat ketidaklulusan sebuah sekolah tinggi, jatuhlah reputasi sekolah tersebut. Masyarakat tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena pandangan mereka itu, sebab pemerintah sendiri secara tidak langsung menanamkan cara pandang itu ke dalam benak masyarakat. Pemerintah pernah menggunakan hasil ujian nasional (dulu disebut EBTANAS) untuk menentukan peringkat sekolah (dan seolah-olah kualitas sekolah) secara nasional, lepas dari proses belajar yang terjadi di sebuah sekolah. Dari sinilah logika yang salah kaprah itu berawal. Masyarakat lalu tidak peduli lagi apakah skor tinggi ujian akhir di sebuah sekolah merupakan hasil dari proses belajar yang benar, atau hasil dari dril mekanis soal-soal pilihan ganda yang sejak awal diberikan oleh guru mereka atau oleh lembaga-lembaga bimbingan belajar. Jika tingkat kelulusannya tinggi, kualitas sekolah tersebut juga tinggi. Jika tingkat kelulusannya rendah, kualitasnya pun rendah. Demikianlah anggapan masyarakat. Tingkat kelulusan di sebuah sekolah akhirnya akan berdampak pada jumlah calon siswa yang mendaftar di sekolah tersebut untuk tahun ajaran yang baru. Jumlah calon siswa yang mendaftar, dan akhirnya diterima sebagai siswa, tentu juga berpengaruh pada keberlangsungan sekolah. Alhasil, segala cara pun dilakukan agar sekolah tetap mempunyai nama baik di masyarakat, dan bertahan hidup.Kekhawatiran dan keprihatinan akan dampak buruk ujian yang distandardkan dan tersentralisasi telah banyak disuarakan oleh para pemerhati pendidikan. Rupa-rupanya, dampak buruk ujian yang distandardkan juga disadari dan teramati di negara seperti Cina, misalnya. Yong Zhao, seorang profesor bidang pendidikan di Michigan State University, dalam artikelnya “China and the Whole Child” yang dimuat dalam majalah Educational Leadership (Mei 2007), mengulas tantangan-tantangan dalam dunia pendidikan yang dihadapi Cina. Menurut Yong Zhao persoalan yang muncul dalam dunia pendidikan Negeri Tirai Bambu itu bersumber pada satu hal, yakni pemberlakuan sistem ujian yang distandardkan (standardized testing) secara nasional, yang kemudian menghasilkan praktik pendidikan yang berorientasi pada tes (test-oriented education).
Dalam sebuah dokumen tahun 1997, Komisi Pendidikan Nasional (sekarang Kementrian Pendidikan Cina) menyebutkan beberapa akibat buruk dari praktik pendidikan semacam itu: penekanan berlebihan pada persiapan menghadapi tes; kurangnya pendidikan moral, sosial, emosional, dan fisik; model pembelajaran yang mengandalkan hafalan dan dril soal mekanis, minimnya keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar; dan hilangnya kreatifitas. Banyaknya tes, ujian, dan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan siswa juga ditengarai menjadi konsekuensi yang harus ditanggung oleh siswa akibat praktik pendidikan tak sehat yang hanya mengejar tingkat keberhasilan setinggi-tingginya dalam ujian nasional yang diselenggarakan oleh biro pendidikan nasional.Kendati artikel tulisan Yong Zhao tersebut sama sekali tidak menyinggung perihal praktik tak jujur dalam pelaksanaan ujian nasional sebagaimana terjadi di Indonesia, dampak-dampak buruk tersebut di atas mengisyaratkan bahwa para guru di Cina juga mengalami kekhawatiran dan ketakutan yang sama dengan para guru di Indonesia terkait dengan tingkat kelulusan para siswa, sebab ujian nasional di Cina juga menentukan kelulusan siswa. Inilah yang menjadi pangkal segala persoalan pendidikan di Cina.Praktik pendidikan berusia seribu tahun yang menjadikan tes sebagai tujuan utama tersebut, menurut Yong Zhao, mengutip Menteri Pendidikan Cina, telah melanggar undang-undang pendidikan Cina, yang menyebutkan bahwa tujuan utama pendidikan di Cina adalah menghasilkan anak-anak dan remaja yang utuh dan seimbang dalam hal moralitas, intelektual, dan fisik.Kesadaran untuk mewujudkan cita-cita pendidikan yang diamanatkan undang-undang pendidikan Cina muncul tahun 1993 ketika Komite Pusat Partai Komunis Cina bersama dengan Dewan Negara Cina mengeluarkan Kerangka Kerja Reformasi dan Pengembangan Pendidikan di Cina, yang menuntut agar sekolah-sekolah dasar dan menengah meninggalkan praktik pendidikan berorientasi tes, dan mengadopsi pendidikan yang mengembangkan kualitas-kualitas siswa dalam aspek moral dan etika, budaya dan sains, kesehatan fisik, kapasitas emosional dan psikologis (Yong Zhao, 2007).Kesadaran itu ditegaskan lagi tahun 1999 saat pemerintah Cina menerbitkan sebuah dokumen kebijakan yang mendorong sekolah-sekolah dasar dan menengah untuk menerapkan ujian kelulusan mereka sendiri, bukan ujian yang dibuat oleh biro pendidikan negara, serta melarang pemerintah daerah menggunakan jumlah siswa yang diterima di jenjang pendidikan lebih tingi sebagai ukuran untuk menentukan kualitas sekolah.


0 komentar: